Sabtu, 26 Juli 2014

ANGIN (Ongose, Timbowo = angin sepoi-sepoi)



Sebagaimana perhitungan arah mata angin menurut istilah bahasa Indonesia berjumlah 16 arah mata angin, demikian juga dalam perhitungan menurut bahasa daerah Sangihe lengkap dengan sebutan sasahara yakni bahasa simbol adat sangihe.
Ke 16 arah mata angin dituturkan sebagai berikut :
  1. Utara - Sawenahe = Mamenongkati
  2. Utara timur laut - Laesuiki sawenahe = Maempukang mamenongkati
  3. Timur laut - Laesuki = Maempukang
  4. Timur timur laut - Laesuiki daki = Maempukang marelo
  5. Timur - Maki = Marelo
  6. Timur tenggara - Mahaing daki = Maembekang marelo
  7. Tenggara - Mahaing = Maembekang
  8. Selatan tenggara - Mahaing timuhe = Maembekang matawola
  9. Selatan - Timuhe = Matawola Bulawa
  10. Selatan barat daya - Tahanging timuhe = Mandarangeng matawola
  11. Barat daya - Tahanging = Mandarangeng
  12. Barat barat daya - Tahanging bahe = Mandarangeng palang epa
  13. Barat - Bahe = Palang epa
  14. Barat barat laut - Poloeng bahe = Mapongaeng palang epa
  15. Barat laut - Poloeng = Mapongaeng
  16. Utara barat laut - Poloeng sawenahe = Mapongaeng mamenongkati
Ke 16 mata angin tersebut dipakai setiap saat tergantung musim angin mana yang mendominasi perubahan cuaca atau iklim. Namun ada 4 mata angin yang menurut adat, tradisi dan budaya dipakai karena ada hubungannya dengan ritus sosio kemasyarakatan dan seremonial spiritualitas masyarakat yang dikemas dalam acara upacara adatmengundang banua atau menahulending  (mentahirkan daerah atau kampung).
Ke empat mata angin tersebut adalah Utara, Timur, Selatan dan Barat. Diyakini bahwa pada posisi arah mata angin ini berdiam kuasa yang mengendalikan hidup manusia, sehingga apapun yang diminta melalui permohonan doa, Tuhan mendatangkan berkah untuk kesejahteraan manusia, seperti tetanaman diberikan kesuburan, laut diberi hasil, dijauhkan dari wabah sakit penyakit.
Ke empat arah mata angin dalam penyebutan menurut tradisi ritus adalah :
  1. Utara - Sawenahe = Mamenongkati (bahasa ritus)
  2. Timur - Daki = Sebangeng (menunjuk arah matahari terbit)
  3. Selatan - Timuhe = Matawola (mata abu-abu, sulit mendayung)
  4. Barat - Bahe = Sedapeng (menunjuk arah matahari tenggelam)
Tuhan diyakini berdiam di empat mata angin sehingga dalam otoritasNya dapat menghembuskan kuasaNya kesemua penjuru dimana manusia tinggal. Karena itu penyebutan angin dalam bahasa sasahara adalah Ongose yakni angin yang setiap saat dapat dirasakan dimana manusia hidup. Sedangkan angin timbowo itu terjadi pada saat tertentu sesuai musim angin timur (daki).
Angin timbowo dimanfaatkan oleh pencinta bahari untuk mengembangkan layar ketika akan bepergian atau pulang dari laut.
Para kaum bahari begitu menikmati tiupan angin timbowo untuk mengantar dengan nyaman sampai dipantai tambatan perahu. Karena enaknya dinikmati tiupan angin timbowo sampai satwa Kus-kus terlena diatas pohon dan kadangkala jatuh ketanah, itulah enaknya tiupan angin timbowo (angin timur=daki).

Dalam perhitungan falak adat masyarakat Sangihe, ada 3 musim angin yang secara rutin bertiup setiap tahun yakni pada bulan Desember sampai Februari selalu bertiup angin Utara, pada bulan Juni sampai dengan september bertiup angin Selatan, sedangkan bulan Oktober sampai dengan Desember awal bertiup angin Barat. Pembagian secara adat alami ini menjadi rahasia kaum bahari untuk "berlayar".

Makassar, 26 Juli 2014
Sem Dolonseda

Dicopy paste dari buku "Sasahara", Penulis Pdt. Ambrosius Makasar, M.Th
halaman 72 - 75

Jumat, 25 Juli 2014

ARENG PAPOTO' PUIDE' (Pemberian nama dalam adat Sangihe)



Saat menanti kelahiran seorang anak, maka semua pihak keluarga akan berkumpul. Mereka berkumpul bukan hanya menunggu kelahiran anak itu tetapi secara informal mereka mengadakan percakapan/tukar pikiran dimana anak yang akan lahir itu akan dinamakan siapa.
Pemberian nama itu sudah mengandung doa, hikmat dan harapan agar melalui nama yang disandang dalam perkembangan petumbuhan jasmani dan rohani diharapkan anak itu dapat menterjemahkan arti dari namanya.
Tidak juga harus dipahami secara kontradiksi, bahwa nama seseorang dapat juga dipahami melalui aktivitas seluruh hidup yang dilakoninya. 
Karena itu, nama merupakan identitas jati diri yang perlu dijaga dan dilestarikan, sebab "sekali nama itu jatuh, seumur hidup tidak dipercaya."

Secara adat, pemberian nama itu ditandai dengan simbol berpadanan dengan pemotongan tali pusat anak. Tali pusat anak dipotong dengan alat tradisional bernama sembilu terbuat dari kulit bambu yang tajam.
Semua aktivitas kelahiran terjadi disebuah kamar yang steril secara adat, dimana sang ibu yang melahirkan nanti bisa keluar dari kamar tersebut setelah 40 (empat puluh) hari.
Seorang perempuan bidan kampung, melalui panggilan kemanusiaan melayani sang ibu bersama anak dengan memberikan sentuhan-sentuhan medis, berupa menyediakan ramuan tradisional untuk pemulihan, memijat dengan memanasi badan melalui bara dalam tungku dikamar persalinan dan memandikan anak setiap hari swampai batas waktu 40 hari selesai.

Pemberian nama saat disimbolkan dengan pemotongan tali pusat anak, ditempatkan dalam perspektif falsafah norma kehidupan yang santun bagi perjalanan hidup anak ke masa depan.

Sumber : Buku Sasahara, Penulis Pdt. Ambrosius Makasar M.Th
halaman 82 - 83.


Makassar, 26 Juli 2014
Sem Dolonseda

SASAHARA KAMPUNG KULUHE (MAHENTUNGANG)


Oleh Sem Dolonseda pada 23 Juli 2014 pukul 22:27
Penyebutan nama sasahara Kampung Kuluhe adalah Mahentungang yang ada hubungannya dengan ceritera mitos perjalanan dari Gumansalangi dan Sangiang Konda menjadi raja pertama kerajaan Sangihe Tampungang Lawo mengendarai seekor ular dari Filipina Selatan.
Dalam pengembaraan menelusuri wilayah utara sebelum sampai di Sangihe, mereka berdua singgah di kampung Kulu daerah Likupang Minahasa Utara.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, Gumansalangi mengambil sebuah batu kecil berbentuk kerikil disimpan disaku bajunya, ketika bunyi guntur dan kilat menyambar, mereka berhenti tepat diatas puncak gunung Sahendarumang.
Dengan peristiwa tersebut mengubah nama Gumansalangi menjadi Kasili Medelu dan Sangiang Konda menjadi Sangiang Mekila.
Setelah peristiwa tersebut sudah reda, Gumansalangi melempar batu kerikil dengan ucapan "Kereu batu ini tumena, tampa ene iseba Kuluhe Mahentungang". artinya " Kalau batu ini dilempar sampai disuatu tempat, maka tempat itu disebut Kulur muncul kepermukaan".

Dari penuturan ceritera ini, maka masyarakat Kuluhe dapat menemukan identitas kesejarahannya dengan menetapkan tanggal 14 Februari 1290 merupakan hari berdirinya Kampung Kuluhe si Mahentungang.
Bulan Februari adalah bulan yang ditandai dengan musim penghujan dimana mengingatkan pada peristiwa guntur dan kilat sambar menyambar ketika Gumansalangi bersama Sangiang Konda tiba di Sangihe.
Itu berarti kampung Kuluhe merupakan salah satu kampung usia tua di daerah Kepulauan Sangihe yakni sebelum Kerajaan Tampungang Lawo terbentuk tahun 1300 - 1350.

Itulah sekilas penuturan Kampung Kuluhe merujuk pada identitas penyebutan nama sasahara yakni Mahentungang menjadi pemicu semangat masyarakat Kuluhe yang semangatnya tidak pernah surut tenggelam, tetapi selalu muncul kepermukaan perjuangan meniti masa depan bagi generasi mendatang. .

Sumber : buku Sasahara, Penulis Pdt. Ambrosius Makasar, M.Th


Makassar, 23 Juli 2014
Sem Dolonseda